SafelinkU | Shorten your link and earn money
Hosting Gratis
Traffic Exchange, Social Media Exchange - HubHits
gravatar

SYEKH SITI JENAR

SYEKH SITI JENAR

   Diantara sembilan wali, Syekh Siti jenar adalah tokoh yang paling kontroversial. selain ajarannya, asal usul, dan kematian, kuburannyapun maih kontroversi.

   Tak mudah memastikan tempat bagi Syekh Siti Jenar. Ia berada diantara legenda dan sejarah. Ia hadir diantaradunia gelap dan terang, diantara alam nayata dan alam ide, juga terselip diantara manuskrip, dongeng, selain juga pro dan kontra. Syekh Siti Jenar memang kontroversial dan misterius.


  Banyak peneliti mencoba mengeksplorasikan misterinya. Buku-buku tentang Syekh Siti Jenar bermunculan. Abdul munir mulkham, sosiolog agama dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sedikitnya menulis tiga buku dengan topik ini. Ada juga karya Achmad Chojidim, Sudirman Teba, Ashad Kusuma Djaya, dan Ahmad Backy Syafa. Buku-buku yang umumnya mempercayai eksistensi Syekh Siti Jenar, dan karenanya memuat kisah hidup serta ajarannya itu ternyata laris manis.

   Selain dalam bentuk buku, kisah Syekh Siti Jenar juga tertulis dalam Babad Tanah Jawa, Babad Demak, Babad Cirebon, Suluk Walisongo, dan Suluk Syekh siti jenar. Karena banyaknya versi dalam kisah legendaris ini, versipun beragam. Siti Jenar juga disebut Lemah Abang, Sitibang, Sitibrit, dan sebagainya. Di mushala makam Siti Jenar di kelaten, Cirebon, Tertulis asal-usul beliau.

  Syahdan, Syekh Idofi alias Syekh Dzatulkafi datang dari Baghdad ke Cirebon dan membangun padepokan Islamiyah di Gunung Jati, Pada abad XV. Selama membagun padepokan Syekh Idhofi sudah di dampingi murid yang bernama Khafied, putra asli Cirebon. Khafied ini bermukim di suatu kawasan 27 kilometer di sisi Timur Cirebon, taempat yang kini disebut kamung sasak, Karaang Asem, Kecamatan Babakan. Ketika Syekh Idhofi mangkat dan dimakamkan di Gunung Jati, padepokan jatuh ke tangan Khafied alias Syekh Siti Jenar. Sejak itu lah beliau memulai kiprahnya.

Teologi Kawula-Gusti

   Bila  mengingat Syekh Siti Jenar, yang diingat orang adalah konsepnya yang khas: Manunggaling kawula lan gusti. Dalam pandangan teologis siti jenar, Tuhan telah bersemayam pada dirinya. Karena "kawula" dan "Gusti" telah menyatu, seorang tak perlu lagi melaksanakan shalat. Siti Jenar tak mau mengerjakan shalat karena kehendak diri sendiri. 

   Menurut Siti Jenar, pada waktu seorang mengerjakan shalat, budinya bisa saja mencuri. Ketika Berdzikir, bisa jadi budinya melepas hati dan menaruh hati pada seseorang, juga terkadang memikirkan dan berharap pada dunia. Ini yang menurut Siti Jenar membuat dirinya berbeda.

   Siti Jenar menganggap budinya sejiwa dengan Hyang Widi. Maka, ketika syahadat, shalat, zakat, puasa, dan ibadah haji tak diinginkannya,maka itu tidak perlu di lakukan. Murid-murid siti jenar mengambil ajaran gurunya dengan beragam. Ada yang tetatap menjalankan syariat, ada syariat yang dipadu ilmu-ilmu kanuragan, ada juga yang hanya kanurgannya. Tapi, sebagian murid Siti Jenar mengembangkan syriat yang dipadu dengan ilmu-ilmu kanurangan. Inilah yang, antara lain, dikembangkan Ki Ageng Pengging, salah satu keturunan raja terakhir majapahit, Prabu Brawijaya.

Komunitas

    Sebagai tokoh aliran agama, selain mengajar tarekat, Siti Jenar juga membentuk komunitas baru di pengujung abad ke-15. Komunitas itu disebut masyarakat-dipungut dari bahasa arab musyarakab yang bermakna " orang-orang yang bekerja sama ", yang menggantikan komunitas kawula yang berkonotasi tanpa daya.

    Ciri komunitas masyarakat adalah; (a) tiap anggota masyarakat punya kedudukan sederajat; (b) punya hak milik pribadi seperti rumah, sawah, dan keluarga; (c) punya hak untuk memilih agama, pekerjaan, dan Pemimpin; (d) punya hak untuk dipilih sebagai pemimpin komunitas, atau mengambil peran sesuai dengan kemampuan. Komunitas baru itu dikembangkan di sepanjang Pantai Utara Jawa, di tempat-tempat yang di sebut Lemah Abang, mulai Bekasi, Karawang, Cirebon, Pekalongan, semarang, sampai pasuruan.

  Lahirnya komunitas masyarakat saat itu dianggap ancaman oleh raja yang menganut nilai-nilai lama. Ketika itu, raja secara politik punya hak-hak mutlak. Antara lain, (a) raja dianggap sebagai penjelmaan Tuhan di dunia; (b) raja adalah pemilik segala sesuatu yang ada diatas bumi yang menjadi kekuasaannya; (c) jabatan raja diwariskan turun-temurun; (d) orang-orang yang hidup di wilayah kerajaan disebut kawula, dan kawula alit yang nyaris tanpa hak; (e) setiap kawula harus menggunakan kata ganti kawulo, kulo, abdi, sahaya, saya yang berarti budak, dan bahkan patik yang memiliki arti anjing yang setia. 

  Akibat kegagalan dalam membangun tatanan baru di Jawa, Syekh Siti Jenar harus menerima konsekuensi logis: menjadi pecundang. Siti Jenar dituduh sesat, ajarannya dilarang. Kaum darah biru yang menjadi pengikut fanatiknya terpaksa melaksanakan ajarannya secara diam-diam. Pada saat yang sama, kalangan grassroot yang baru memahami ajaran Syekh Siti Jenar juga harus mengalami nasib apes. Mereka makin terpinggirkan, dan menerima stigma sebagai wong abangan.

  Keompok abangan ini dianggap tak beradab, suka melawan pemerintah, bodoh, tak kenal agama, bahkan ateis. Stempel abangan bahkan dimaknai dalam bahasa arab aba`an, yakni kaum penentang yang tak patuh. Lawannya ialah kaum putihan, dari bahasa arab muthi`an, yang bermakna golongan yang patuh.

  Kegagalan membangun komunitas yang kokoh itu membuat tarekat Siti Jenar pun cerai-berai. Yang berkembang di kalangan kelas menengah kemudian mempengaruhi karya-karya sufistik bernuansa ajaran "sangkan paraning dumadi"  dan "manunggaling kawula-gusti" seperti Serat Titi mani, Sastra Gending, Suluk Malang Sumirang, Suluk Linglung, atau Serat Centhini.

   Dalam pandangan Abdul Munir Mulkham, sebenarnya ajaran yang di kembangkan Syekh Siti Jenar bukan hal asing dalam Khazanah pemikiran islam. Ajaran serupa pernah tercatat dalam sejarah islam abad ke-11 Masehi. Beberapa tokoh sufi seperti Al-Hallaj di hukum mati di baghdad, sedangkan Ibnu `Arabi, oleh sebagian ulama, divonis murtad.

   Dalam kacamata politik, gerakan Siti Jenar lebih sebagai kritik terhadap dukungan penuh ulama fikih atas penguasa Islam yang dinilai tidak adil, korup, dan penindas. Sikap oposisi Siti Jenar dan pengikutnya atas kekuasaan Raden Fatah, yang didukung Wali Songo, merupakan gerakan anti-status quo.

   Dewan Agama Kerajaan Demak Bintara, dengan penopang utamanya Wali Songo, menilai ajaran Siti Jenar tak hanya sesat, juga menggangu stabilitas kekuasaan Raden Fatah. Ketika Siti Jenar tak lagi bisa di bujuk, para Wali Songo mengeksekusinya. Sejak saat itu, para pengikut Siti Jenar dikejar-kejar. Ki Ageng Penging juga mengalami nasib seperti gurunya, dihukum mati.

   Selain ada nuansa politisnya, menurut pandangan Agus Sunyoto, MA, pendeatan Siti Jenar mengundang persturuan. Menurut Agus yang tekun meneliti sejarah para Wali itu, Wali Songo cemburu melihat keberhasilan dakwah Siti Jenar. Ketika para sunan yang lain berhasil menanamkan pengaruh di seluruh pesisir utara Jawa, pada saat yang sama Siti Jenar punya pengaruh kuat di Ngawi, Salatiga, Klaten, Luragung (Jawa Barat), Banten, bahkan ke pulau Sumatra.

  Siti Jenar dinilai menyebarkan ajaran yang membuat orang awam gampang terpeleset dari akidah. Ia memang mengajarkan bahwa menuju Alloh tak peru guru atau kiai. Siapapun berhak berkomunikasi langsung. Doktrin itu mengkhawatirkan Wali Song. "Bila ini diikutin, maka dakwah Wai Songo bisa gagal total,"Kata dosen antropologi di sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Malang, itu.

   Pada awalnya, Siti Jenar merupakan bagian dari kelompok dakwah Wali Songo. Oleh dewan wali itu, ia ditugasi mengajar "sasabidan", syahadat tauhid. Belakangan, pelajaran Siti Jenar malah mengarah pada ilmu hakikat, bukan syariat. Wali Songo menilai, ilmu hakikat itu bukanlah konsumsi orang awam yang baru mengenal islam.

  Ketika ajarannya mendapat tempat di hati kaum miskin dan papa yang baru saja melepas kepercayaan Hindunya, pamor Siti Jenar makin menjulang. Bagi kaum yang terkungkung konsep kasta, ajaran baru itu sungguh menarik. Pengaruh Siti Jenar meluas, dan itu mencemaskan sang penguasa politik baru, Demak. Akibatnya, ia harus membayar mahal. Ia pun menjalani hukuman mati. Disini ada kontroversi. Versi riwayat yang lain mengatakan, Siti Jenar memilih langsung kematiannya. Ia cuma memegang tengkuknya, lalu jasadnya muswa sambil menebarkan aroma wewangian. Yang pasti, sejarah mencatat, Siti Jenar dan pengikutnya mengalami hukuman mati.

   Proses politik terus berlanjut. Kerajaan Demak hanya bertahan pada tiga generasi, setelah itu runtuh. sepeninggal Raden Fatah (1481-1518M), Demak dipimpin Patih Unus, lalu raden Trenggono. Sepeninggal Raden Trenggono (1521-1546M), Demak runtuh. Menantu Trenggono, Mas Karebet alias Joko Tingkir, mengambil alih kekuasaan, dan memindahkannya ke Pajang, dekat kota Surakarta sekarang. 

   Joko Tingkir yang bergelar Sultan Adiwijaya ini adalah anak Ki Ageng Penging. Munculnya tokoh dari Desa Tingkir ini bisa dibaca sebagai pertanda islam abangan "berhasil" menggusur islam politik di arena kekuasaan. Joko Tingkir inilah yang menjadi cikal bakal raja-raja Mataram yang, meskipun Islam, masih saja dicap berbau islam abangan dalam tatanan pribadahannya.  

gravatar

Nice post gan, sangat bermanfaat

gravatar

nice info gan...
ulasanya sangat berat bro...
syeh siti jenar... klo bleh tau knapa memilih mengulas topik ini?

gravatar

suka dengan kisah-kisah para ulama di negri ini yang mungkin orang belum ada mengenal siapa beliau

gravatar

Manunggaling Kawulo Gusti adalah takdir puncak...istimewa bagi yang sudah mengarah ke sana....

Pengikut

Popular Posts